Sabtu, 22 Agustus 2020

Wayang Sebagai Wahana Pendidikan

Oleh: Dr. Sayanto, S.Kar., MA.

A. Pendahuluan

Pendidikan adalah bagian dari sistem pengetahuan yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Sebagaimana diutarakan oleh Koenjaraningrat (1981: 202-209), bahwa kebudayaan merupakan sistem dalam kehidupan manusia yang mencakup sistem religi, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem bercocok tanam, dan sistem kesenian. Pendidikan mengarahkan manusia kepada cara berpikir cerdas dan rasional. Seperti tercantum di dalam pembukaan UUD 45, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai suatu bangsa harus memiliki kecerdasan dalam berpikir, mampu memelihara perdamaian dalam kehidupan bersama di muka bumi, dan mampu menegakkan kebenaran yang seadil-adilnya.

Manusia dan kebudayan selalu berada dalam bingkai ruang dan waktu tertentu yang disebut ”jaman”. Jaman merupakan suatu periode di mana manusia dan kebudayaannya berada. Dari jaman ke jaman kehidupan manusia selalu dihadapkan dengan situasi kebudayaan yang selalu berubah dan berkembang. Di dalam perjalanan perubahan dan perkembangan itulah manusia silalu dituntut mengembangkan daya kreatifitas dalam memenuhi hajat hidupnya. Hal yang yang perlu menjadi komitmen bahwa, manusia modern, pada dasarnya, adalah manusia yang sepenuhnya menyadari akan kebudayannya, aktif turut memikirkan dan merencanakan arah yang harus ditempuh oleh kebudayaan secara manusiawi (Peursen, 1988: 10).

Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang menjadi sarana ekspresi manusia untuk mengungkapkan gagasan tentang keindahan. Kesenian adalah produk budaya manusia yang mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepada manusia sebagai pemiliknya. Oleh karena itu semua bangsa tentu mempunyai semboyan bahwa kesenian perlu dilestarikan. Semboyan ini bukan semata-mata konservasi dari wujud fisiknya, melainkan kandungan nilai-nilai yang mampu memberikan kontribusi kepada pertumbuhan dan perkembangan jiwa generasi penerusnya.

Hakikat dari seni adalah indah, dalam wujud apa saja karya seni intinya adalah keindahan. Indah dalam arti mengandung pesan dan kesan menarik karena dianggap baik, adiluhung, dan benar. Hakikat indah bukanlah semata-mata sesuatu yang secara ideal dianggap ”bagus”, melainkan ada suatu kandungan nilai yang mampu menyentuh jiwa yang paling dalam. Nilai itulah yang akan menggerakkan hati manusia menjadi sadar akan dirinya sendiri, sadar akan lingkungannya, dan sadar akan penciptanya.

Melalui seni, manusia dapat mengambil pelajaran hidup, karena seni pada hakikatnya adalah cerminan pendidikan yang dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Akan tetapi, dalam memberikan pendidikan anak yang berwawasan seni dan lingkungan tidak berarti memaksakan anak didik untuk memahami suatu bentuk seni ataupun aliran seni, hal yang lebih signifikan adalah bahwa nilai seni itu mampu menginspirasi anak didik untuk menggerakkan daya rasional maupun daya emosionalnya sehingga anak memiliki kualitas kecerdasan yang tinggi.

Seni bukanlah teori yang harus menjadi dasar pemikiran untuk pengembangan ilmu, tetapi seni merupakan media ungkap untuk mengekspresikan suatu gagasan. Namun demikian seni merupakan simbol yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Dalam memahami dan mengupas makna dari simbol-simbol yang diungkapkan melalui seni itu, kita dapat memandang dari berbagai aspek disiplin sesuai dengan kebutuhan pengetahuan.

Salah satu bentuk seni yang mengandung nilai-nilai pendidikan adalah ”wayang kulit”. Kesenian ini selalu hidup dan mampu bertahan dari jaman ke jaman berikutnya, karena mampu beradaptasi dengan budaya jamannya. Meskipun dalam perjalanannya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, tetapi ruh yang hakiki dari suatu kesenian itu selalu abadi di masyarakat pemiliknya. Perubahan dan perkembangan itu terjadi karena pandangan budaya masyarakat selalu berubah dan berkembang. Oleh karena itu pandangan akan nilai dalam wayang itupun juga bergerak sesuai dengan karakter dan kepentingan jamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian wawasan bukanlah hal yang bersifat staknan atau statis, melainkan sebagai paradigma yang dinamis. Wayang merupakan salah satu seni pertunjukan yang mengandung pesan-pesan pendidikan, baik dilihat dari wujud karakter tokoh-tokohnya, pertunjukan, maupun lakon-lakon yang disajikan.

B. Wayang sebagai Gambar Karakter.

Wayang kulit merupakan gambar karakter, bukan gambar figur manusia. Semua ornamen yang ada di dalamnya dilukis serba artistik dan estetik. Secara artistik ornamen-ornamen dalam lukisan wayang tampak menarik, karena mengandung nilai-nilai seni yang edipeni. Secara estetik wujud ornamen dalam lukisan wayang itu mengandung makna simbolik yang berhubungan dengan filosofi karakter masing-masing tokoh. Berbagai ornamen yang yang diukir dan disungging pada figur wayang itu selalu disesuaikan dengan karakter wayang yang masing-masing memiliki ciri-ciri spesifik, misalnya: tokoh Bhima selalu memakai sumping pudhak sinumpet, pupuk jarot asem, kampuh poleng, dan sebagainya. Arjuna selalu mengenakan sumping waderan, kampuh limar ketangi, gelung minangkara, dan lain-lainnya. Ciri khas tokoh-tokoh tersebut tidak hanya sekedar membedakan antara satu dan lainnya, tetapi juga mencerminkan perwatakan tokoh, baik tokoh yang berwatak bijak maupun yang berwatak jahat. Dari perwatakan yang telah menjadi konvensi dalam dunia pewayangan itu dalam masyarakat Jawa tokoh wayang banyak yang menjadi idola masyarakat untuk dijadikan suri tauladan. Misalnya tokoh Bhima dan Anoman dipajang di ruang tamu, diharapkan anak-anak mentauladani watan Bhima yang jujur dan teguh, watak Anoman yang pemberani dan sakti mandraguna.

Kekuatan konvensional dalam wayang banyak mempengaruhi budaya masyarakat, tidak sekedar lukisan yang digunakan sebagai hiasan dan kesenangan, lebih jauh wayang menjadi pandangan hidup, tauladan, dan harapan masyarakat. Misalnya: orang tua memberi nama anaknya dengan nama wayang: Bhima, Yudhistira, Sadewa, Tutuka, Sita, Prita, dan lain-lainnya, semua itu mempunyai harapan bahwa kelak anaknya menjadi orang yang berkarakter seperti tokoh-tokoh wayang tersebut. Bahkan karanter tokoh wayang itu menjadi standar harapan masyarakat, contoh: anak laki-laki diharapkan yang tampan seperti Arjuna, gagah seperti Gathutkaca, pemberani seperti Bhima. Anak perempuan diharapkan cantik seperti Subadra, tangkas seperti Srikandhi. Tidak mungkin orang berharap memiliki anak laki-laki yang brutal seperti Rahwana, jahat seperti Sangkuni. Sejauh itulah nilai-nilai ketauladanan wayang bagi masyarakat penggemar wayang.

Wayang dalam pertunjukannya secara konvensional terdapat dua golongan yang disebut Bala Kiwa dan Bala Tengen. Dua istilah tersebut tidak semata-mata berhubungan posisi penempatan ataupun penataan wayang dalam pakeliran, melainkan istilah yang hubungannya dengan karakter wayang. Yang dimaksud Bala Kiwa adalah tokoh-tokoh yang biasanya berperan sebagai tokoh yang berwatak jahat atau buruk. Tokoh-tokoh ini tidak hanya barupa tokoh yang berwajah buruk saja, seperti raksasa ataupun setengah raksasa, tetapi juga banyak tokoh-tokoh yang jahat yang berupa Ksatriya, Dewa, atau pun Pendeta. Tokoh-tokoh itu dalam pertunjukan wayang pada umumnya diposisikan di sebelah kiri. Sebaliknya dengan tokoh-tokoh yang tergolong Bala Tengen tidak selalu berupa tokoh-tokoh ksatriya yang bagus-bagus atau ganteng-genteng, banyak pula tokoh-tokoh yang berwujud setengah raksasa, dan raksasa. Tokoh-tokoh itu disebut Bala Tengen kaena dalam pertunjukan pada umumnya diposisikan di sebelah kanan. Hal yang perlu diperhatikan adalah simpulan-simpulan dalam suatu pertunjukan wayang, bahwa pada setiap lakon pada akhir ceritanya Bala Kiwa yang angkara murka selalu dikalahkan oleh Bala Tengen yang yang selalu berpegang pada prinsip kebenaran.

B. Pesan Pendidikan Semesta dalam wayang

Pertunjukan wayang merupakan suatu simbol kehidupan semesta, di dalamnya selalu menyampaikan pesan-pesan yang berhubungan dengan dunia makro dan dunia mikro atau lazim diucapkan oleh dalang jagad gedhé dan jagad cilik. Orang Jawa menginterpretasi dunia mikro bukan hanya terletak pada unsur-unsur kecil yang merupakan bagian-bagian dari dunia makro, tetapi lebih dimaksudkan pada dunia individu manusia. Maka dalam jagad pedalangan selalu diucapkan melalui pocapan padupan demikian: “. . . jagad gedhé yaiku jagad kang gumelar, jagad cilik tegesé jagading sang prabu pribadi. . . “. Maksudnya, jagad besar adalah alam semesta, sedangkan jagad kecil adalah dunia individu sang raja pribadi.

Pertujukan wayang terdiri atas berbagai unsur, baik bersifat fisik maupun non- fisik. Unsur-unsur fisik berupa wayang, gawang dan kelir, bléncong, debog, tapak dara, kothak, gamelan, cempala, keprak, serta lain-lainya. Unsur non fisik yaitu perabot garap pakeliran yang berupa lakon, catur atau wacana, gerak wayang atau sabet, suluk, dodogan dan keprakan, serta karawitan pakeliran. Semua unsur tadi dalam pertunjukan disajikan secara serentak bersama dalam satu kesatuan sistem jalinan yang harmonis, tertib dan teratur, sehingga menghasilkan kesan estetik yang sungguh manakjubkan.

Kelir diibaratkan dunia semesta, warna putih menggambarkan suasana bersih atau kosong tidak ada apa-apa, pada bagian atas diberi plangitan atau langit-langit sebagai simbol dunia atas, sedangkan pada bagian bawah diberi palemahan sebagai lambang bumi atau dunia bawah. Di tengah-tengah kelir diberi sebuah lampu yang disebut bléncong, ini merupakan simbol sinar matahari atau sinar kehidupan. Boneka wayang adalah lambang dunia individu atau kosmis, bisa berupa tokoh-tokoh yang menggambarkan karakter manusia, juga tokoh-tokoh yang melukiskan makhluk hidup lainnya.

Alam semesta diciptakan oleh Tuhan berhubungan dengan keberadaan manusia, terutama unsur-unsur kehidupan. Manusia harus memahami alam semesta yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan, agar hidupnya selalu selamat. Tuhan memberikan arah atau kiblat dalam hidup manusia, agar supaya kehidupan orang itu tidak salah arah. Di dalam kebudayaan Jawa arah itu disebut kiblat papat lima pancer, yang artinya empat penjuru dan satu sebagai pusat di tengah. Kiblat papat itu diberi nama purwa/wétan (timur), daksina/kidul (selatan), pracima/kulon (barat), untara/lor (utara); dan pancer atau madya (tengah). Dalam pandangan Jawa, kiblat papat ini diidentikkan dengan tempat saudara empat dan kelima pancer, yang disimbolkan dengan warna putih di timur, merah di selatan, kuning di barat, hitam di utara, dan biru di tengah. Kiblat alam semesta ini selalu diawali dari arah timur atau purwa. Kata purwa berarti pertama atau asal mula, juga dikatakan wétan yang diperkirakan berasal dari kata wit-an yang berarti “pertama” (Endraswara, 2003: 7).

Di dalam pewayangan keseimbangan kiblat itu digambarkan dalam wujud Kreta Jaladara tinarik jaran papat kunusiran rasa sejati, yaitu kereta kendaraan Raja Kresna yang ditarik oleh empat ekor kuda yang berwarna putih diberi nama Ciptawilaha, yang merah diberi nama Abrapuspa, yang kuning diberi nama Sonyasakti, dan yang hitam diberi nama Sukantha. Masing-masing kuda tersebut memiliki kesaktian berbeda-beda, tetapi mereka bersatu dan saling melilindungi. Dalam kehidupan orang Jawa, arah kiblat tersebut senantiasa harus menyatu dalam posisi yang seimbang. Jika terjadi ketidak seimbangan di antara empat saudara itu maka hidupnya akan terganggu. Sebaliknya jika hubungan antara manusia dengan keempat saudaranya itu harmonis dan seimbang, keempat saudara itu akan selalu membantu (ngreréwangi).

Mengenai sedulur papat lima pancer, Susilo (2002) berpendapat bahwa, kata sedulur atau “saudara” merupakan simbol sifat nafsu setiap manusia, yaitu keinginan dan dorongan hati yang kuat baik ke arah kebaikan maupun kejahatan. Dalam pandangan hidup Jawa empat saudara tersebut dilambangkan dengan warna, misalnya warna merah melambangkan sifat nafsu berangasan atau amarah, warna hitam sebagai lambang sifat nafsu angkara murka atau lauamah, warna kuning melambangkan nafsu birahi atau supiyah, dan warna putih sebagai lambang nafsu kesucian atau mutmainah.

Istilah sedulur papat lima pancer ini juga berhubungan erat dengan kakang kawah adhi ari-ari. Bayi sebelum lahir yang keluar lebih dulu adalah air ketuban yang dalam bahasa Jawa disebut kawah. Karena air ini keluar lebih dulu, maka disebut kakang artinya saudara tua. Setelah bayi itu lahir, baru keluar plasenta yang disebut ari-ari. Kata ari dalam bahasa Jawa mempunyai arti sama dengan adhi, artinya saudara yang lebih muda. Selain itu kelahiran bayi juga diiring keluarnya darah dan gumpalan-gumpalan daging. Jadi saudara empat yang dimaksud terdiri dari air ketuban, darah, daging, dan plasenta atau dalam bahasa Jawa disebut kawah, getih, daging, ari-ari. Adapun yang dimaksud pancer adalah bayi yang lahir itu sendiri atau badan manusia yang hidup sebagai makhluk sempurna ini. Di dalam pertunjukan wayang sedulur papat lima pancer ini disimbulkan dengan ksatriya tampan yang selalu diiring oleh empat abdinya yang disebut Panakawan, yakni Arjuna yang diiring Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Orang Jawa berbicara tentang kosmos otomatis meyinggung tentang hakikat kekuasaan Tuhan. Jadi manusia, kosmos, dan Tuhan adalah suatu kesatuan yang mutlak tidak dapat dipisahkan. Mengenai korelasi manusia dan kosmos, serta Tuhan ini Louis Leahy (2002) berpendapat bahwa, kita megenal Tuhan secara positif dengan memberi-Nya beberapa sifat yang kita ketahui, misalnya sifat ada, sifat baik, sifat pengertian. Akan tetapi sifat-sifat yang kita ketahui itu selalu terbatas. Cara kita sendiri untuk mengetahui telah membuat kita tidak mampu untuk melukiskan suatu kesempurnaan yang tak terbatas. Oleh sebab itu di dalam kehidupan sehari-hari, setiap gagasan kita dikaitkan dengan suatu “representasi”, yaitu dengan suatu gambaran materiil dari suatu obyek yang diberikan oleh panca indera. Kebergantungan ekstrinsik terhadap materi ini membuat pengetahuan manusia secara hakiki terikat pada dunia dan tidak sesuai untuk menangkap realitas Ilahi secara memadai. Oleh sebab itu manusia harus menggunakan istilah-istilah negatif pada waktu berusaha memikir atau membahas perihal Tuhan. Ia sungguh berbeda dengan pengalaman manusia sehari-hari. Ia bersifat tak terbatas, tidak bersebab, dan tidak berakhir. Malahan dapat dikatakan bahwa Dia tidak bersifat baik, tidak berakal, namun dalam hal ini manusia harus berhati-hati, karena jikalau mengingkari bahwa Tuhan adalah baik dan berakal, bukan maksud kita bahwa Dia tidak mempunyai sifat-sifat itu, kecuali hanya bahwa Dia bukan memilikinya dengan cara terbatas yang terkandung di dalam konsep-konsep manusiawi. Dengan demikian, maka telah jelas bahwa setiap kali manusia menggunakan salah satu konsep mengenai diri Tuhan, mereka harus memperbaikinya, dengan meniadakan sifat terbatas dan materiil yang hakiki itu. .

C. Ajaran Kepemimpinan dan Mengenal Lingkungan.

Lakon Wahyu Makutharama merupakan salah satu lakon populer dalam pertunjukan wayang. Lakon ini pada hakikatnya adalah ajaran kepemimpinan yang mentauladani sifat-sifat delapan anasir alam semesta, yang disebut Hastha-Brata. Ajaran ini merupakan jalan pemahaman kosmologis menuju ”kemanunggalan” antara jagad cilik (alam individu) dan jagad gedhé (alam semesta). Barang siapa dapat melaksanakan delapan jalan utama tentang alam semesta akan disebut raja, sebaliknya manusia yang tidak dapat menjalankan delapan jalan utama itu akan disebut raja tak bermahkota. Seperti yang disampaikan oleh Nartasabda, wejangan Hastha Brata dari Begawan Kesawasidhi yang diberikan kepada Arjuna. Hastha Brata berupa delapan ajaran yang mentauladani watak alam, yang terdiri atas: (1) surya atau matahari, (2) candra atau bulan, (3) kartika atau bintang, (4) himanda atau awan, (5) kisma atau bumi, (6) dahana atau api (7) tirta atau air, dan (8) samirana atau angin. Simbol-simbol tersebut bukanlah semata-mata merupakan lambang sebagai ketauladanan watak saja, akan tetapi juga mengandung nilai pendidikan untuk memahami sifat-sifat dari tiap-tiap unsur alam itu, sehingga memberikan pemahaman bagi manusia betapa pentingnya keberadaan semua unsur alam itu bagi kehidupannya. Dengan demikian manusia tidak memperlakukan alam ini secara semena-mena. Adapun Hastha Brata itu jika ditinjau dari aspek kosmologi dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Watak Surya
Matahari memiliki daya kekuatan menyinari alam semesta. Dengan adanya matahari, segala makhluk dan tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi dapat hidup, tidak memandang besar kecil, tinggi rendah, baik dan buruk, semua mendapat sinar matahari. Matahari menyinari samodera, air samodera menguap menjadi awan, di angkasa awan mencair manjadi air hujan. Jatuhnya air hujan ke bumi, menjadikan bumi subur dan segala sesuatu yang tumbuh di bumi menjadi subur. Di dalam alam individu (kosmis) manusia juga memiliki daya semangat yang didorong oleh kekuatan nafsu dan kehendak dalam hidup manusia. Semangat dalam jiwa manusia ini mempunyai peran sama seperti matahari dalam dunia makro. Ketika manusia masih memiliki daya semangat yang besar, akan selalu memanfaatkan hidupnya untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya. Semangat manusia itu akan menyinari semua unsur biologis yang berhubungan dengan kehendak, cita-cita, ide, dan pikiran, sehingga semua unsur itu akan bergerak secara terus menerus sesuai dengan peranannya dalam kehidupan ini. Tetapi apabila semangat itu padam, maka semua unsur itu tidak akan bergerak lagi, artinya hidup manusia ini tidak berguna lagi. Maka seorang pemimpin bagsa, selain perlu mentauladani sifat matahari, harus memahami pula kedudukan matahari itu dalam keteraturan semesta. Dengan memahami kedudukan matahari di dunia ini, maka manusia akan menyadari betapa pentingnya matahari ini bagi kehidupan semesta, atas kesadaran itu tentunya manusia akan tersentuh nuraninya untuk selalu menjaga segala perbuatannya yang sekiranya akan mengganggu kelestarian alam. Misalnya langkah-langkah riil yang dilakukan oleh orang-orang Amerika tentang pencegahan green haouse effect, larangan tentang seeking corral, dan pemerintah Indonesia sekarang juga melarang perusahaan-perusahaan besar menggunakan bahan-bahan kimia yang berakibat merusak lapisan ozon, dan lain sebagainya.

2) Watak Candra
Bulan memantulkan cahaya karena mendapat sinar dari matahari, cahaya itu memantul ke bumi menerangi di waktu malam hari. Cahaya bulan memiliki daya sejuk dan menenteramkan hati yang memandangnya, maka bulan dapat dikatakan sebagai lentera kehidupan. Bagi orang Jawa, Rembulan juga digunakan sebagai pertanda waktu (penanggalan), rotasi bulan mengitari bumi selama tiga puluh hari dalam satu bulan. Di lihat dari bentuk penampilan bulan dalam satu bulan, orang Jawa mengelompokkan tampilan bulan itu dalam tiga tahap, sepuluh hari pertama disebut wulan tumanggal, purnamasidhi, dan panglong atau pangreman. Hal ini dapat dipahami sebagai suatu perlambang dalam kehidupan manusia, bahwa kehidupan ini semua selalu lahir dari kecil. Dalam perjalanan ruang dan waktu manusia berkembang menjadi besar, dan suatu saat mengalami puncak kesuksesan dalam hidupnya. Tetapi manusia yang sukses itu tidak akan selamanya dapat menikmatinya, karena usia manusia terbatas, jasmani manusia dapat rusak suatu saat harus kembali ke asal mulanya melalui jalan kematian.

3) Watak Bintang (Kartika)
Bintang menjadi simbol panutan dan keindahan. Orang Jawa sejak dulu telah mengenal ilmu falak atau astronomi, yaitu ilmu tentang posisi, gerak, struktur, dan perkembangan benda-benda di langit, serta sistem-sistemnya (Bagus, 2005: 91). Nenek moyang orang Jawa hidup sebagai pelaut, maka bintang menjadi petunjuk arah yang utama. Bintang-bintang yang dianggap sebagai petunjuk itu diberi nama-nama dalam bahasa Jawa sesuai dengan kelompok dan bentuk posisinya. Misalnya: lintang luku, yaitu kelompok bintang yang posisinya membentuk luku atau bajak; lintang gubug pèncèng, yakni kelompok bintang yang posisinya membentuk rumah reot; lintang jaka bèlèk, yaitu bintang yang cahayanya tidak terang bagaikan mata yang sedang sakit; lintang banyak angrem, ialah kelompok bintang yang posisinya seperti angsa sedang mengeram; lintang panjer rahina, yaitu bintang yang munculnya pagi hari di sebelah timur; lintang kemukus yaitu bintang berekor (commet) yang muncul pada saat-saat tertentu saja, bintang ini dipandang sebagai pertanda buruk; lintang Bhimasakti atau galaksi, yaitu kelompok bintang yang membentuk tubuh wayang Bhima, kakinya sedang digigit naga. Bintang ini apabila posisinya berada di tengah-tengah langit, menjadi pertanda waktu tengah malam. Gerak dan posisi semua bintang tersebut selalu diikuti oleh masyarakat Jawa tempo dulu, karena perjalanan bintang-bintang itu ada hubungannya dengan pergantian musim atau pranata mangsa. Maka bagi para nelayan yang akan melaut atau pun para petani yang akan bercocok tanam selalu mengikuti perjalanan bintang-bintang tersebut, agar mendapatkan hasil panen yang memuaskan.

Selain itu, orang Jawa juga mengenal horoskup. Nama-nama bintang digunakan sebagai lambang meramalkan watak orang dilihat dari hari kelahiranya. Hal ini dalam ngilmu Jawi disebut Palintangan. Watak orang dapat dibaca menurut bintangnya, adapun bintang itu dapat diketahui melalui hari dan pasaran kelahirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bintang merupakan simbol yang mecerminkan perwatakan atau sifat-sifat tiap-tiap manusia. Berbagai bintang di langit dipandang sebagai sejumlah perwatakan manusia di dunia yang selalu berbeda satu dan lainnya.

Orang Jawa juga telah mengenal astrologi, yaitu ilmu meramalkan sesuatu yang akan terjadi berdasarkan bintang-bintang. Astrologi ini dalam budaya Jawa lebih dikenal dengan istilah Pawukon, berasal dari kata Wuku. Pengetahuan ini diilkhami oleh mitos Jawa yang sangat populer yaitu mitos Watugunung. Konon Prabu Watugunung adalah raja Gilingwesi sangat sakti mandraguna, memiliki dua orang istri bernama Dewi Sinta dan Dewi Landhep, menurunkan anak sejumlah dua puluh tujuh orang semuanya laki-laki. Watugunung bersama keluarganya itu setelah gugur dalam peperangan melawan Dewa Wisnu, oleh Sang Hyang Pramesthi Guru diijinkan suksma mereka tinggal di surga. Suksma Watugunung dan keluarganya itu yang selanjutya disebut sebagai wuku.

4) Watak Awan (Himanda )

Awan dipandang sebagai lambang watak adil. Awan adalah uap air yang berasal dari tempat yang rendah seperti laut, sungai, rawa, dan lembah-lembah. Disebabkan oleh terik matahari, air menguap menjadi awan. Gumpalan-gumpalan awan itu dibawa oleh angin membubung ke angkasa. Di angkasa gumpalan-gumpalan awan itu menyatu dengan lainnya hingga mampu menutup angkasa yang terang menjadi gelap gulita. Akan tetapi ketika awan itu mencapai ketinggian tertentu dan suhu dingin tertentu, akan mencair dan menjadi air hujan yang akhirnya jatuh kembali ke bumi serta menyejukkan semua kehidupan di bumi. Oleh karena itu seorang pemimpin perlu memahami sifat-sifat awan, bahwa sesungguhnya tidak ada keberhasilan dalam kehidupan ini yang dicapai secara tiba-tiba. Setiap manusia perlu mengingat asal-usul dan riwayatnya, sehingga pada saat menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada dirinya akan mudah selalu introspeksi. Ketika ia menghadapi kesusahan tidak putus asa, dan ketika hidupnya sukses tidak lupa daratan. Sekarang banyak dijumpai figur-figur pemimpin yang senang mengumbar janji, pada hal janji itu hanyalah sekedar janji yang tidak pernah ada realisasinya. Ini merupakan salah satu gejala krisis moral, karena manusia didorong oleh kehendak yang tidak disertai ketajaman nuraninya. Manusia cenderung berpikir prakmatis, sehingga buta terhadap nilai-nilai filosofis. Dengan memahami sifat-sifat awan ini, paling tidak manusia akan memiliki watak bijaksana; jika menjadi seorang pemimpin bangsa akan berwatak adil paramarta, sebagaimana awan ketika menjadi air hujan menyirami bumi seisinya.

5) Watak Bumi

Bumi adalah tempat berpijak semua makhluk yang ada di atasnya, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan segala sumber kekayaan alam terkandung di dalamnya. Meskipun bumi ini diinjak-injak oleh manusia setiap hari, dicangkul para petani, bahkan digali, dikeduk, diambil hasil tambangnya, tetapi bumi tidak pernah mengeluh. Bumi selalu memberikan kebahagiaan kepada semua makhluk yang menempatinya. Contoh: para petani yang rajin mengolah tanah, bercocok tanam, mereka akan menuai buah atau hasil tanamannya yang berlipat ganda dari biji atau bibit yang ditanam. Para binatang mendapatkan makanannya berupa rumput, ubi-ubian, biji-bijian dan sebagainya berkat kesuburan bumi. Tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur dan berkembang biak karena kesuburan bumi, bahkan segala kebutuhan manusia dan makhluk-makhluk lainnya telah tersedia di bumi ini. Bumi menerima sinar matahari dan jatuhnya air hujan, mengakibatkan segala macam tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh dengan subur, dan semua itu untuk memenuhi kebutuhan manusia dan semua makhluk yang membutuhkannya. Bumi tidak pernah meminta imbalan berupa apapun kepada manusia ataupun makhluk-makhluk lain yang memanfaatkan jasanya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia sebagai makhluk berpikir bebas berbuat apa saja asal terpenuhi kebutuhannya, dengan tanpa memperhitungkan kelestarian bumi. Perlunya memahami watak bumi tidak sekedar mentauladani secara simbolik, akan tetapi manusia perlu memahami watak-watak bumi ini agar dapat mengerti bagaimana mensikapi dan memperlakukan bumi ini agar selalu terjaga keseimbangan dan keserasian dalam hidup bersama secara tertib dan damai. Dengan demikian manusia akan terhindar dari terjadinya berbagai bencana di bumi yang merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri.

6) Watak Api (Dahana)

Api merupakan salah satu anasir alam yang memiliki daya panas. Energi api dapat digunakan untuk melebur apa saja, bergantung yang memanfaatkan. Jika api itu dimanfaatkan secara positif, akan membuahkan hasil yang positif pula. Misalnya, api digunakan untuk membakar besi hingga meleleh, besi itu dijadikan pisau, atau pun peralatan pertanian, berguna untuk mengolah tanah, bercocok tanam. Api digunakan untuk memasak bahan makanan, menghasilkan masakan yang menjadi sehat untuk dimakan. Api digunakan untuk melehkan logam mulia, menghasilkan perhiasan, dan sebagainya. Akan tetapi sebaliknya, apabila api itu digunakan untuk hal-hal negatif, kemungkinan akan merusak dan merugikan kehidupan ini. Misalkan: api untuk membakar rumah, membakar hutan, membakar pasar, dan sebagainya, jelas hal itu berakibat merugikan bagi kehidupan masyarakat. Ini merupakan simbol semangat yang ada dalam diri manusia, semangat itu jika diarahkan kepada hal-hal yang positif niscaya akan membuahkan hasil yang maslahah bagi kehidupan. Sebaliknya jika semangat itu tidak dikendalikan, cenderung mengarah kepada hal-hal negatif, pasti akan merugikan bagi kehidupan, baik diri sendiri maupun orang lain. Api membara selalu dalam posisi tegak dan berpijar ke atas, ini merupakan simbol sifat tegas dalam menegakkan keadilan. Sebagai pemimpin hendaknya bersikap seperti bara api, selalu bersemangat, bersikap tegas dalam menegakkan keadilan. Tanpa pandang bulu, siapa saja yang menjadi penghalang dan perusuh negara harus ditumpas, yang berbuat salah harus dijatuhi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku. sebaliknya bagi siapa saja yang patuh kepada peraturan negara harus diayomi.

7) Watak Air (Banyu)

Air adalah anasir alam yang selalu menjadi sarana kehidupan. Di mana-mana ada air di situlah ada kehidupan. Meskipun demikian air tidak selalu memiliki sifat ramah, suatu ketika juga menunjukkan sifat kejam. Air di laut menghidupi segala macam isi lautan, dari makhluk hidup yang paling kecil sampai yang paling besar hidup karena air. Manusia dan segala macam binatang di daratan, serta tumbuh-tumbuhan yang menancap di muka bumi, semuanya membutuhkan air. Begitu pula tumbuh-tumbuhan yang ada di atas bukit, di pucuk gunung hidup karena air. Akan tetapi suatu ketika air juga dapat membahayakan; air laut meluap menimbulkan tsunami. Ketika manusia memperlakukan air secara proporsional, mungkin tidak akan terjadi hal-hal yang membahayakan. Akan tetapi ketika manusia memperlakukan lingkungan tidak sesuai dengan aturan atau norma ekosistem yang berlaku, kemungkinan akan berakibat fatal. Perubahan sifat-sifat hakiki air itu sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia. Tetapi pada hakikatnya air bersifat rata, di mana ada tempat rendah selalu terisi oleh air sesuai dengan luas dan kedalamannya. Seorang pemimpin hendaknya dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya secara adil, pegertian adil dalam hal ini adalah proporsional, sesuai dengan kemampuan, kedudukan, dan beban kebutuhan yang harus disandang oleh rakyatnya.

Begitulah pemahaman tentang sifat air yang dimaksud dalam Hastha Brata yang diungkapkan melalui wejangan Kesawasidhi terhadap Arjuna. Air menjadi sumber penghidupan. Yang dimaksud penghidupan dalam hal ini tidak hanya bagi makhluk manusia, tetapi mencakup segala makhluk termasuk binatang dan tumbuhan. Jadi seorang pemimpin harus dapat memberi penghidupan kepada siapa saja yang mempunyai hak untuk dihidupi (Nartasabda, Kusuma Rec. : 8A).

 8) Watak Angin (Samirana)

Angin adalah anasir alam yang selalu menelusuri berbagai ruang dan waktu, yang sempit, yang luas, yang tinggi, yang rendah, di puncak gunung, di dasar lautan, baik di waktu siang maupun malam, semuanya dilalui oleh angin. Hal ini sesuai dengan pandangan Jawa bahwa pemimpin harus dapat manjing ajur-ajèr, artinya harus bersifat “luwes” atau fleksible dalam bergaul atau srawung di dalam masyarakat. Seorang pemimpin harus dapat menyelami segala keadaan lingkungan di sekitarnya, cara memperhatikan rakyatnya tidak membeda-bedakan derajat, pangkat dan golongan, serta tempat tinggal, semuanya dapat merasakan pancaran kasih sayang pemimpinnya. Selain itu seorang pemimpin harus bersikap empan-papan, artinya selalu dapat menyesuaikan diri dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi. Ketika menjalankan kedinasan seorang pemimpin harus bersikap disiplin sesuai dengan kewajiban kedinasan. Ketika di rumah, seorang pemimpin harus menjadi pengayom keluarga dan suritauladan masyarakat sekitarnya sebagai seorang penduduk masyarakat yang baik, jangan sampai terjadi urusan kedinasan dibawa-bawa ke keluarga ataupun masyarakat. Dalam pandangan Jawa dikatakan mbédakaké pribadi lan makarti.

Sebagaimana disampaikan Nartasabda dalam wejangan Hastha Brata terakhir, bahwa angin sebagai tauladan seorang pemimpin harus berwatak supel dalam bergaul. Oleh karena rakyat yang dipimpin itu terdiri dari bermacam-macam golongan atau kasta, ada yang kasta Brahmana, Kasta Waisya, dan kasta Sudra, yang semuanya telah berada dalam golongannya masing-masing, para para pemimpin harus mampu menyelami mereka dengan sikap yang menyenangkan (karya nak tyasing sesama). Para Brahmana akan tenang bersemadi jika merasa tentram hatinya, para waisya akan tekun bekerja jika dilindungi ketentraman, begitu pula para sudra akan senang hatinya jika merasa tenteram hidupnya (Kusuma Rec.: 8A).

D. Kesimpulan

Kehidupan manusia dengan keberadaan dunia semesta ini kenyataannya tidak dapat dipisah-pisahkan atau pun terlalu dibedakan, karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Hubungan antara manusia dan dunia ini didasarkan atas beberapa keyataan dalam bentuk kesatuan. Pertama adalah kesatuan objektif. Manusia tidak hanya merupakan bagian dari dunia semata. Pribadi manusia hanya dalam hubunganya dengan manusia lain dan dunia pada umumnya; sebaliknya dunia hanya didapatkan dalam hubunganya dengan manusia. Refleksi kongkrit dan menyeluruh atas individu manusia juga merupakan refleksi atas dunia; demikian pula sebaliknya. Maka sangat jelas bahwa dunia tidak mungkin dipahami tanpa adanya manusia, demikian juga manusia tidak mungkin tanpa dunia. Manusia dan dunia saling mengandung dan saling berimplikasi. Kedua adalah kesatuan formal. Refleksi manusia atas pribadinya bersama-sama dunia merupakan jalan yang mungkin satu-satunya. Hanya manusialah yang bertanya mengenai dunia, juga manusia saja yang benar-benar memiliki suatu proyek tentang dunia. Dengan demikian berarti hanya manusialah yang mempunyai hubungan dengan dunia secara sadar. Hanya di dalam diri dan melalui manusia sendiri dunia dapat disentuh secara formal sesuai hakikatnya, atau menurut mengadanya. Seumpama tidak berawal pada pengalaman manusia tentang dunia sendiri, maka filsafat membuat anomali yang tanpa dasar. Tanpa pengalaman sadar itu, dunia hanya didekati dari luar, tidak ada korelasi yang dekat, dan hanya akan menghasilkan pengetahuan yang berciri empiris semata. Jadi hanyalah refleksi atas otonomi-dalam-korelasi melalui manusia dapat memberikan pandangan tentang dunia secara hakiki.

DAFTAR ACUAN

Pustaka

Adrongi, Kosmologi/Filsafat Alam Semesta. Kebumen: CV. Bintang Pelajar,
1986.

Bakker, Anton, Kosmologi & Ekologi Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Ciptopawiro, Abdullah , Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Hardiyanti Rukmana, Butir-Butir Budaya Jawa Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawaleksana Ngudi Sejatinig Becik. Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1990.

Hariwijaya, 2.500 Kata Bijak dari Jawa. Jakarta: Setia Kawan, 2005.
Harsaja, Siswa, Pakem Makutarama. Jogjakarta: Pesat, 1954.

Hazim, Amir, Nilai-Nilai Etis Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997.

Hudoyo, Suryo, Serat Bagawadgita. Surabaya: Djojo Bojo, 1990.

Jasadipura, R.Ng., ”Serat Rama”. Babon Saking Koninklik Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen, t.th.

Kats, J., Wayang Purwa. Dordrecht-Holland/Cinnaminson USA: Foris Publication. Translasi K. R. T. Kartaningrat, 1984.

Kattsoff, Louis O., Elements of Philosophy. Terjemahan Soejono Soemargono.Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

Kusumadiningrat, Serat Partawigena (Makutharama). Alih aksara S. Ilmi Albiladiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku sastra Indonesia dan daerah, 1984.

Leahy, Louis Sj., Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, BMK.
Gunung Mulia, 1993.

Moedjiono, Imam, Kepemimpinan dan Keorganisasian. Yogyakarta: UII Press.

Padmasoekatja, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita, Jilid II. Surabaya: Citra Jaya Murti, 1992.

Pendit, S., Nyoman, Mahabharata. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
_______________, Ramayana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Poerwadarminta, W.J.S., Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uttgevers-Maatschappu n.v., 1939.

Poespaningrat, Pramoedjoe, R.M. Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta: PT. BP. Kedaulatan Rakyat, 2005.

Prawiraatmadja, Ngungak Isining Serat Astha Brata. Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudayaan Kem. P.P. dan K., 1958.

Rachels, James, Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Scheler, Max, Nilai Etika Aksiologis, terjemahan Paulus Wahana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Sastra Amidjaja, Sena, Renungan Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta, 1962.

Soesilo, Ajaran Kejawen Philosofi dan Perilaku. Jakarta: Yusula, 2002.

Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolik. Surakarta: STSI Press,
2005.

Susetya, Wawan., Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2007.

Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Warna, I Wayan, “Kakawin Ramayana I, II”. Bali: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I, 1987.

Wignjasoetarna, Lampahan Makutarama Pedalangan Ringgit Purwa Wacucal.
Surakarta: Yayasan P.D.M.N., 1972.

Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jogyakarta: Kanisius,1990.

Audio

Nartasabda, Wahyu Sri Makutharama. Klaten: Kusuma Record, tth.